Histori Pengaturan Perpajakan Bagi Yayasan

UU No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur perpajakan bagi yayasan yang tertuang pada  pasal 2 yang menempatkan Yayasan sebagai salah satu subjek pajak dalam negeri.

Penghasilan masuk kelompok BUKAN OBJEK PAJAK selama :

* Penghasilan yayasan dari usaha semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;

* Penghasilan yayasan dari modal sepanjang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum.

Laba yayasan yang tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang bersangkutan, yang telah diperhitungkan untuk melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan pajak.
UU No. 10 Tahun 1993 Ketentuan masih sama sesuai UU PPH tahun 1983

Terkait pengalihan harta yang diterima oleh yayasan, mengacu pada UU ini maka Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai
sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha,pekerjaan,kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
UU No. 17 tahun 2000 Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, makapenghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek Pajak.

Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dariObjek Pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun,dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
UU No. 36 tahun 2008  ketentuan masih sama sesuai UU no 17 tahun 2000

Penghasilan bagi yayasan pendidikan yang tidak termasuk Objek Pajak

Perpajakan dalam Laporan Keuangan Yayasan

Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, yayasan adalah subjek pajak. Yayasan menjadi Wajib Pajak jika menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak. Namun, meskipun tidak menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak, yayasan tetap menjadi Wajib Pajak jika memenuhi kriteria sebagai pemotong pajak.

Sebagai contoh, yayasan bertindak sebagai pemotong PPh pasal 21 atas penghasilan berupa gaji, honorarium, upah, tunjangan yang dibayarkan kepada karyawan/peserta kegiatan/pihak lain. Secara umum pelaksanaan hak dan kewajiban yayasan sama dengan bentuk usaha lain, kecuali hal-hal khusus yang diatur tersendiri.

Sesuai dengan UU PPh Pasal 2 Ayat (1) Huruf b, bahwa yayasan merupakan subjek Pajak Penghasilan yang termasuk dalam kategori “Badan”. Adapun kewajiban perpajakan sebagai subjek Pajak Badan adalah sebagai berikut:

  1. PPh Pasal 4 ayat 2 – Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, serta persewaan tanah dan bangunan dapat dikenai pajak bersifat final.
  2. PPh Pasal 21 – Kewajiban pemotongan pajak atas penghasilan sehubugan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau Wajib Pajak Orang Pribadi.
  3. PPH Pasal 23 – Kewajiban pemotongan PPh oleh pihak yang wajib membayarkan penghasilan atas penghasilan dengan nama dan bentuk apapun yang dibayarkan, serta disediakan untuk dibayarkan atau telah jatuh tempo pembayarannya.
  4. Sebesar 15% dari jumlah bruto pada: (1) dividen dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian hasil usaha koperasi, (2) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan (3) hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh 21.
  5. Sebesar 2% dari jumlah bruto pada: (1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2, dan (2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong sesuai PPh 21.