
Dalam pemeriksaan pajak, pemeriksa dapat menerapkan metode pemeriksaan tidak langsung. Metode pemeriksaan tidak langsung dilakukan dengan beberapa pendekatan, salah satunya adalah pendekatan penghitungan rasio dan penghitungan satuan dan/atau volume.
Pendekatan Penghitungan Rasio
Pendekatan rasio sebaiknya digunakan dalam kondisi terdapat data yang dapat digunakan sebagai pembanding dan/atau penghitungan rasio baik dari Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak, maupun dari pihak lain.
Selain keberadaan data, kegiatan usaha Wajib Pajak harus dapat dibandingkan dengan rasio yang diperoleh.
Pendekatan ini merupakan cara untuk menguji dan menghitung kembali peredaran usaha, harga pokok penjualan, laba bruto, laba bersih, ataupun penghasilan bruto secara keseluruhan, dengan cara mengalikan basis data dengan persentase atau rasio-rasio pembanding.
Demikian pula dengan objek-objek atau pos-pos SPT lainnya. Basis data adalah data awal yang dimiliki oleh pemeriksa pajak baik yang berasal dari internal Wajib Pajak pada tahun pajak yang sedang diperiksa atau tahun pajak yang lain, maupun yang berasal dari pihak eksternal, misalnya:
- peraturan perpajakan yang mengatur mengenai benchmarking;
- publikasi komersial;
- hasil pemeriksaan;
- dan lain-lain.
Dalam melakukan perbandingan (internal atau eksternal), Pemeriksa Pajak harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesepadanan, misalnya:
- karakteristik barang dan jasa yang dijual;
- luas dan besarnya kegiatan usaha (skala usaha);
- letak geografis usaha;
- kondisi ekonomi; dan/atau
- strategi bisnis yang meliputi umur perusahaan dan aktivitas perluasan/ekspansi.
Contoh Penghitungan dengan Pendekatan Rasio
Pemeriksaan pajak dengan menggunakan metode rasio umum dilakukan pada wajib pajak dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang sama. Dari data yang ada, pemeriksa akan membandingkan persentase PPh terutang Wajib Pajak yang diperiksa dengan persentase Wajib Pajak yang memiliki KLU sama dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
Sebagai contoh PT ABC PPh terutangnya Rp10 juta dengan peredaran usaha Rp1 miliar. PT DEF dengan KLU yang sama PPh terutangnya Rp1 miliar dengan peredaran usahanya Rp20 miliar. Dari data tersebut dapat diketahui:
Rasio/Persentase PPh terutang PT ABC dengan penjualan = Rp10 juta/Rp1 miliar = 1 %
Rasio/Persentase PPh terutang PT DEF dengan penjualan = Rp1 miliar/Rp20 miliar = 5 %
Selanjutnya dapat diperkirakan laba kena pajak dari kedua perusahaan tersebut dengan cara sebagai berikut:
Laba Kena Pajak PT ABC x 22% = 1%
Laba Kena Pajak PT ABC = 1% / 22 % = 4,54%
Laba Kena Pajak PT DEF x 22% = 5%
Laba Kena Pajak PT DEF = 5% / 22% = 22,7%
Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa besaran laba kena pajak PT ABC sebesar 4,54% dan PT DEF sebesar 22,7% dari peredaran usaha. Hal tersebut dapat menimbulkan pertanyaan bagi pemeriksa pajak, apalagi dalam konteks kedua perusahaan menjalankan jenis usaha/bisnis yang sama, serta letak dan tahun berdirinya perusahaan sama. Pemeriksa dapat menilai PT ABC harusnya memperoleh laba sebesar Rp227.000.000 (22,7% dari peredaran usaha).